Sabtu, 28 Maret 2009

Mengapa saya mengenakan Kerudung ?


Oleh Yvonne Ridley (mualaf Inggris eks tahanan Taliban)


Dulu saya melihat wanita berkerudung sebagai manusia yang pendiam, makhluk yang tertindas. Namun, kini saya melihatnya sebagai sosok yang memiliki banyak keahlian, berbakat, dan berpendirian kuat dimana menjelma sebagai bentuk solidaritas persaudaraan yang bahkan terlalu agung untuk dibandingkan dengan persaudaraan feminisme Barat.

Politisi dan jurnalis senang mengangkat isu tertindasnya perempuan di dalam Islam tanpa pernah mengajak berbicara para perempuan berkerudung itu sendiri.

Mereka sama sekali tidak memiliki bayangan bagaimana wanita muslim terlindungi dan dihormati dalam Islam yang telah berlangsung selama lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Namun dengan mengupas isu budaya seperti mempelai anak-anak, penyunatan anak perempuan, pembunuhan demi kehormatan dan perkawinan paksa, mereka pikir mereka berbicara dengan ilmu.

Dan saya juga muak dengan dicontohkannya praktik di Saudi sebagai contoh bagaimana wanita ditekan hak-haknya seperti larangan mengemudi di negara tersebut.

Hal-hal diatas sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Islam, namun itu semua menjadi sasaran empuk untuk memojokkan Islam dengan bergaya sok tahu. Padahal sangatlah naif untuk mencampuradukkan budaya dengan Islam.

Saya pernah diminta untuk menulis bagaimana Islam membolehkan suami untuk menghajar isterinya. Enak saja, tidak benar itu. Kalangan pengkritik Islam tentu akan dengan senang mengutip ayat-ayat Al Quran atau Hadith secara serampangan dan di luar konteks. Apabila seorang suami akan menaikkan tangannya terhadap isterinya, ia dilarang untuk meninggalkan bekas pukulan di tubuh isterinya. Dengan kata lain, Quran sebenarnya berkata,” Jangan kau hajar isterimu, Hai Bodoh.”

Nah mari kita lihat statistik yang menarik. Hmm, saya mulai mendengar kata-kata sumpah serapah. Menurut, informasi Kekerasan Rumah Tangga Nasional (Amerika Serikat), 4 juta wanita mengalami kekerasan oleh pasangannya selama rata-rata 12 bulan.

Tidak kurang dari 3 wanita dibunuh oleh suami atau pacarnya setiap hari… yang berarti sekitar 5500 wanita yang dihajar hingga mati sejak peristiwa 9/11.

Mungkin ada yang bilang bahwa fakta tersebut adalah suatu kenyataan yang mencengangkan yang bisa terjadi di masyarakat yang konon beradab. Namun sebelum saya berkata lebih jauh, saya perlu katakan bahwa kekerasan terhadap wanita adalah masalah global. Pria yang melakukan kekerasan pun memiliki latar belakang yang beragam dari segi agama maupun budaya. Kenyataan menunjukkan bahwa satu dari tiga wanita di dunia merupakan korban kekerasan dan pelecehan seksual semasa hidupnya. Kekerasan terhadap wanita bukan monopoli agama, status, kekayaan, warna kulit ataupun budaya tertentu.

Namun demikian, ketika Islam pertama kali muncul, wanita merupakan obyek yang diperlakukan secara tidak semestinya. Bahkan di Barat, para wanita pun masih menghadapi masalah karena para pria yang masih berpikir memiliki superioritas. Ini terlihat dari jenjang promosi dan struktur upah yang terlihat dari tipe pekerja pembersih biasa hingga pemburu karir di tingkat direksi atau manajemen.

Wanita di Barat pun masih diperlakukan sebagai komoditas dimana perbudakan seksual mengalami peningkatan, dengan dalih sebagai upaya pemasaran dimana tubuh wanita menjadi aset penjualan produk dalam dunia periklanan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ini terjadi di dalam masyarakat dimana perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan adalah hal yang lumrah. Di dalam masyarakat ini pula terjadi ilusi persamaan antara pria dan wanita dan tingkat pengaruh seorang wanita di dalam masyarakat tersebut diukur dari besaran payudara yang ia miliki.

Dulu saya melihat wanita berkerudung sebagai manusia yang pendiam, makhluk yang tertindas. Namun, kini saya melihatnya sebagai sosok yang memiliki banyak keahlian, berbakat, dan berpendirian kuat dimana menjelma sebagai bentuk solidaritas persaudaraan yang bahkan terlalu agung untuk dibandingkan dengan persaudaraan feminisme Barat. Pandangan saya berubah sejak pengalaman yang saya lalui ketika ditahan oleh Taliban karena menyelundup ke Afghanistan dengan mengenakan burkha di bulan September 2001.

Selama 10-hari dalam kurungan, saya membuat perjanjian dengan mereka bahwa saya akan membaca Al Quran dan mempelajari Islam kalau mereka akan membiarkan saya pergi. Aneh tapi nyata, mereka pun menerima tawaran saya dan saya pun dibebaskan. Ketika saya kembali dari sana saya pun memegang janji saya. Sebagai jurnalis yang meliput peristiwa di Timur Tengah, saya pun menyadari untuk belajar lebih banyak tentang suatu agama yang jelas-jelas juga menjadi suatu pandangan hidup bagi masyarakat di sana.

Tidak, saya bukan korban Sindrom Stockholm. Untuk menjadi korban sindrom ini, anda harus memiliki hubungan yang baik dan erat dengan mereka yang menahan anda. Ini tidak terjadi dengan saya. Selama saya dikurung, saya sumpah serapahi mereka menolak makanan yang mereka tawarkan dan melakukan mogok makan. Saya tidak tahu siapa yang lebih senang ketika saya akhirnya dibebaskan — mereka atau saya!

Awalnya, saya pikir membaca Quran tidak akan lebih dari sekedar kegiatan akademis. Namun saya benar-benar terhenyak ketika saya temukan secara gamblang bahwa wanita memiliki kesamaan spiritual, pendidikan dan harga diri. Hadiah bagi seorang wanita ketika ia melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka benar-benar mendapatkan pengakuan yang tulus. Wanita muslim pun bangga untuk menyatakan bahwa mereka adalah ibu rumah tangga.

Di samping itu, Nabi Muhammad Saaw pun menyatakan bahwa wanita yang terpenting dalam keluarga adalah seorang Ibu, Ibu, dan Ibu. Nabi juga berkata bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Bayangkan, berapa banyak wanita yang mampu mencapai 100 peringkat wanita paling berpengaruh hanya dengan predikat ‘Ibu Terbaik’?

Ketika seorang wanita secara Islam memilih dengan sadar untuk tetap tinggal di rumah dan membesarkan anak-anak merupakan suatu bentuk baru dari harga diri dan kehormatan di mata saya. Pilihan tersebut sama sekali tidak lebih rendah dibanding dengan para wanita muslim lainnya yang memilih untuk bekerja, berkarir dan mengembangkan profesi mereka.

Saya pun mulai mencermati hal-hal seperti hukum warisan, pajak, kepemilikan harta dan perceraian, yang semuanya mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para pengacara Holywood. Misalnya, wanita berhak mempertahankan apa yang telah mereka raih dan miliki sedangkan para suaminya harus menyerahkan separuh dari nilai yang ia miliki.

Agak lucu bukan kedengarannya ketika para media tabloid dengan heboh meliput berita aktris bintang film yang melakukan perjanjian pra nikah? Padahal para wanita muslim sudah menjalankan perjanjian bahkan sejak hari pertama. Mereka bisa memilih untuk bekerja atau tidak, dan semua penghasilan yang ia dapati dari pekerjaannya adalah miliknya, sedangkan suaminya harus membayar semua kebutuhan, tagihan dan belanja keluarga.

Apa-apa yang mereka para feminis perjuangkan di tahun 70an, ternyata sudah dinikmati oleh para wanita muslim 1400 tahun yang lalu.

Sebagaimana saya terangkan tadi, Islam menghormati status Ibu dan Istri. Apabila anda memilih untuk tetap tinggal di rumah, maka silakan untuk tetap tinggal di rumah. Adalah suatu bentuk kehormatan yang luar biasa nilainya untuk menjadi pendidik pertama dan terutama bagi anak-anak.

Di saat yang sama, Quran juga menyatakan kalau anda ingin bekerja, maka bekerjalah. Jadilah wanita karir, kembangkan profesi dan jadilah politisi. Jadilah menjadi sosok apapun yang anda inginkan dan jadilah yang terbaik, karena apapun yang anda akan kerjakan diniati untuk menggapai ridhaNya.

Saat ini ada kecenderungan yang berlebihan untuk menfokuskan pada masalah pakaian wanita muslim terutama oleh para pria (baik muslim dan non-muslim).

Memang benar bahwa wanita muslimah wajib untuk berpakaian sopan, tetapi banyak sekali masalah lain yang wanita muslim hadapi saat ini.

Namun demikian, semua orang masih terobsesi dengan isu kerudung atau hijab. Begini, hijab ini adalah busana resmiku, dan dengan ini saya nyatakan bahwa saya adalah seorang muslim dan saya harap anda perlakukan saya dengan hormat.

Bisakah anda bayangkan bagi seseorang untuk memberitahu eksekutif Wall Street atau bankir Washington untuk mengenakan kaos t-shirt dan celana blue jeans? Dia tentu akan menyatakan bahwa busana resmi yang ia kenakan adalah yang mendefinisikan dia selama jam kerja dan secara tidak langsung ia nyatakan kepada dunia untuk mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya.

Anehnya, di Inggris, kita dengar ucapan Menlu Jack Straw tentang nikab (penutup wajah yang hanya memperlihatkan mata) sebagai penghalang yang tidak bisa diterima. Wahai para pria, kapan anda akan berhenti mengomentari busana wanita?

Kita juga dengar ucapan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown dan John Reid yang memberikan pernyataan yang tidak pantas tentang nikab, padahal desa asal mereka adalah perbatasan Skotlandia dimana para pria di sana mengenakan rok!

Lalu kita juga temukan para anggota dewan parlemen yang ikut-ikutan menggambarkan nikab sebagai penghalang komunikasi. Benar-benar ucapan tidak berkualitas. Lalu bagaimana mereka menjelaskan fenomena ponsel, email, radio, sms dan faks yang dalam sehari-harinya mereka tidak pernah melihat wajah seseorang.

Mayoritas para akhwat yang saya kenal yang mengenakan nikab adalah wanita kulit putih, yang masuk Islam dan tidak lagi menginginkan sorotan, rayuan laki-laki dan perilaku mereka yang tidak senonoh. Asal tahu saja, ada sepasang akhwat di London yang saya kenal yang mengenakan niqab saat demo anti Perang karena tidak tahan dengan bau rokok.

Saya khawatir Islamophobia telah menjadi bidikan kaum rasis. Tetapi secara pengecut, kaum chauvinis pria dan kaum wanita muslim sekuler kiri bergabung menyerang busana muslimah yang tidak lagi bisa ditolerir oleh para muslimah.

Saya sendiri bertahun-tahun adalah feminis dan hingga sekarangpun masih menjadi feminis muslim yang berjuang untuk kepentingan kaum wanita. Bedanya adalah, wanita feminis muslim adalah jauh lebih radikal ketimbang teman feminisnya yang sekuler. Kita semua benci kontes kecantikan dan berusaha keras untuk tidak tertawa melihat adanya Miss Afghanistan yang mengenakan bikini sebagai bukti pembebasan wanita di Afghanistan.

Saya telah kembali ke Afghanistan beberapa kali dan saya bisa katakan bahwa tidak ada wanita karir yang bangkit dari reruntuhan di sana. Wanita muslimah Afghan berharap kepada saya agar Barat tidak terlalu terobsesi dengan Bhurka yang mereka kenakan. “Jangan perjuangkan kami untuk menjadi wanita karir, tapi carikan pekerjaan buat suami kami. Tunjukkan bahwa kami bisa mengirim anak-anak ke sekolah secara aman tanpa takut diculik. Berikan kami keamanan dan makanan di meja makan,” demikian kata seorang wanita muslimah kepada saya.

Muslim feminis muda melihat kerudung dan nikab sebagai simbol politik dan persyaratan agama sekaligus. Ada yang menganggap bahwa ini adalah simbol perlawanan mereka terhadap gaya hidup Barat yang sarat dengan mabuk-mabukan, seks bebas, dan narkoba.

Superioritas dalam Islam tumbuh karena ketaqwaan, bukan kecantikan, kekayaan, kekuasaan, posisi, maupun jenis kelamin.

Sekarang katakan kepada saya mana yang lebih membebaskan. Apakah dengan melihat seberapa pendek rok yang saya kenakan dan ukuran payudara, atau dengan menilai karakter, pikiran dan kecerdasan?

Majalah-majalah memberikan pesan kepada wanita kalau mereka tidak tinggi, langsing dan cantik maka mereka tidak akan dicintai dan diinginkan. Tekanan kepada para pembaca majalah remaja untuk memiliki pacar pun sangat menjengkelkan.

Islam berkata kepada saya bahwa saya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan adalah tugas saya untuk mencari ilmu, baik ketika saya masih lajang atau sudah menikah.

Tidak ada di dalam Islam bahwa kami sebagai wanita harus mencuci, membersihkan rumah, atau memasak demi para pria. Tapi tidak hanya laki -laki muslim yang wajib mempelajari kembali perannya di masyarakat. Coba cek kata-kata Pat Robertson di tahun 1992 tentang pandangannya terhadap wanita. Lalu katakan kepada saya mana yang lebih beradab.

Dia berkata,” Feminisme mendorong wanita untuk meninggalkan suami mereka, membunuh anak-anak, melakukan sihir, menghancurkan kapitalisme, dan menjadi lesbian.”

Ini adalah kata-kata orang Amerika yang hidup semasa Jahiliyah yang perlu dimodernisasi dan di-adab-kan. Sosok seperti inilah yang justru mengkerudungi penglihatan mereka dan kita perlu membuka kerudung kejahilan mereka sehingga bisa membiarkan masyarakat dunia untuk melihat Islam dengan mata kepala mereka sendiri sebagaimana apa adanya.

Jumat, 20 Maret 2009

Globalisasi versus Perdagangan Luar Negeri



Oase kamis sore yang diadakan tanggal 19 Maret 2009 tidak sesuai rencana. Pembicara dari Spritual Leadeship Training and Education Center (SLTEC), Mas Bey, tidak bisa hadir karena beliau harus mendadak ke jakarta. Namun, panitia tidak ingin mengecawakan rasa penasaran peserta yang sudah menanti pencerahan dari ustadzs di Oase Forkiis. Acara tetap berlanjut namun pembicara dan tema diganti. Pembicara kali itu dari Imperialism Watch Forum, bapak Tindyo Prasetyo. Beliau berbicara Isu Globalisasi yang menjadi alat untuk menjajah ekonomi. Wah, memang ngeri sekali apa yang dibicarakan, maklum saja. Tema acaranya: "Islam, way of life: Menghapus Keterjajahan Ekonomi". Audien yang hadir sangat antusias. Karena sebagian besar audien adalah para calon manajer perusahaan, mereka banyak bertanya mengenai ekonomi Islam.

Pak Yoyok, begitu kami memanggil pak pembicara, menjelaskan perbedaan globalisasi dan perdagangan luar negeri. "Globalisasi tidak sama dengan perdagangan luar negeri. Islam sendiri menghalalkan perdagangan luar negeri, karena melihat afal Rosullulah juga pernah melakukannya. Disamping itu memang realitas membuktikan bahwa setiap negara tidak selalu mampu menghasilkan barang yang dibutuhkannya, jadi perdagangan luar negeri tidak ada masalah", ujar alumni karyawan Freeport McMoran ini. Namun Globalisasi adalah pola penjajahan ekonomi yang melegalkan eksploitasi SDA negara-negara dunia ketiga seperti indonesia. Beliau menegaskan bahwa Globalisasi didukung oleh banyak pihak diantarnya, organisasi internasional (PBB dan dibawahnya), univesitas, yang pada akhirnya dilegalkan melalui Undang-undang yang di berlakukan oleh pemerintah. Yang tak kalah serunya, ternyata universitas juga memberi pembenaran ilmiah atas Globalisasi yang secara fakta dapat merugikan negara-negara dunia ketika (baca Indonesia). [Forkiiis]

Senin, 09 Maret 2009

Kepemimpinan untuk Indonesia

Bulan April 2009 ini, Indonesia akan mengelar Pemilu. Pemilu 2009 ini tak banyak berbeda dengan pemilu 2004 lalu, masyarakat akan memilih presiden dan wakil presiden (satu paket) dan juga anggota legislatif secara langsung.

Masalah kepemimpinan merupakan hal yang kembali menarik untuk diperbincangkan. Tidak hanya di skala global, isu ini pun amat relevan untuk ditarik di skala nasional. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, 2004 merupakan tahun strategis bagi masa transisi politik di Indonesia. Pemilu, baik legislatif maupun presiden berlangsung dengan baik. Akan tetapi semua bisa jadi sepakat, lain elit politik lain masyarakat. Memang ada kemajuan dari sisi proses demokratisasi, namun kemajuan tersebut tidaklah memberi solusi atas banyaknya permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum.

Makalah ini akan memberikan uraian singkat mengenai potensi dan masalah Indonesia serta gaya kepemimpinan transformatif sebagai solusi alternatif dalam menyelesaikan problematika negeri. Dan yang tak kalah penting adalah apa yang harus dipelajari dari pemimpin fenomenal dalam sejarah dunia, agar generesi pemimpin itu terlahir di negeri ini?

Potensi Indonesia

Kita akan berbicara mengenai potensi Indonesia, yang di dalamnya terdapat dua sumber daya, yaitu: sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Akan tetapi selain sumber daya ini diperlukan sarana fisik atau alat-alat fisik, dan informasi untuk menghubungkan keduanya.

Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Areal hutan kita termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan ikan, mutiara, minyak dan kandungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah lautan. Dari potensi ikan saja, yang diperkirakan mencapai 6,4 juta ton, dan bisa diperoleh devisa lebih dari Rp86,36 trilyun setiap tahunnya.[1]

Demikian juga di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak yang juga cukup besar. Misalnya saja, kandungan emas, perak dan tembaga di bumi Papua, yang kini dikelola PT. Freeport McMoran, setiap hari menghasilkan ribuan ton bongkahan pasir, tanah dan batu yang nantinya akan diambil konsentrat emas, perak dan tembaga.[2]

Selain kaya dengan SDA, Indonesia juga memiliki SDM yang potensial. Di mana SDM sendiri adalah meliputi penduduk dengan berbagai perannya. Perlu diingat jumlah penduduk Indonesia sekitar 237 juta (perkiraan tahun 2008).[3] Total angkatan kerja sebanyak 111,91 juta jiwa dengan 8,39 persennya adalah penganguran.[4] Negeri ini memiliki banyak sarjana, baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri. Setiap tahunnya ada ribu lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS tahun 2007, jumlah terbesar adalah lulusan universitas, yaitu 409.890 orang, disusul 179.231 lulusan program diploma III, dan 151.085 lulusan program diploma I dan diploma II.[5] Belum lagi sarjana lulusan luar negeri, pada masa Habibie menjadi Menristek hampir setiap tahun lembaganya memberikan beasiswa untuk sekitar 500 pelajar kita guna belajar teknologi di negara maju. Tentu saja terdapat puluhan ribu anak Indonesia yang berangkat sekolah ke berbagai negara maju dengan biaya sendiri.

SDM dan SDA saja belum cukup tanpa sarana fisik dan informasi. Sarana fisik, mencakup cash flow (mata uang yang konvertibel) dan sumber daya buatan yang pembangunannya memerlukan modal (seperti bangunan, pembangkit listrik, pabrik, sarana dan prasarana transportasi serta telekomunikasi, hingga instalasi pengolah limbah). Adapun informasi diperlukan dalam mengurus kebutuhan masyarakat seperti data administrasi penduduk, peta, hasil–hasil riset, cetak biru industri, hingga data intelijen (intellegente data).

Walaupun Indonesia tidak secanggih negara-negara maju dalam hal sarana fisik dan informasi, tetapi kekayaan SDA dan banyak SDM merupakan keunggalan yang tidak terdapat di belahan bumi lain. Sekedar perbandingan, Jepang pada akhir PD-II sudah luluh-lantak. Sarana fisiknya praktis habis. Informasi tinggal yang ada di benak SDM-nya. Bahkan SDA-nya tidak sekaya kita. Namun, karena SDM-nya memang bermutu, maka secara ekonomi Jepang dengan cepat bangkit lagi.

Kurang apa lagi bangsa ini, SDA kita melimpah SDM-nya pun demikian, seharusnya bukan hanya bangga tetapi juga bersyukur karena kemakmuran yang dirasakan.

Pemasalahan Negeri

Pada pemilu langsung untuk presiden dan wakil presiden pada 2004 telah menghasilkan kepemimpinan nasional, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (satu paket). Harapan rakyat pun tercurah pada duet SBY JK ini, yakni harapan agar kekayaan sumber daya yang ada di negeri ini dapat dikelola untuk mensejahterakan pada rakyat.

Sungguh ironi, harapan bangsa ini pun belum juga terwujud. Kesengsaraan yang dialami oleh bangsa ini dulu (di saat masa penjajahan Belanda dan Jepang) kini sedang dirasakan kembali. Dua masalah kembar, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi dilema, sehingga kesejahteraan buat bangsa Indonesia baru sebuah mimpi.

Dapat dibayangkan pada standar garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank saja yaitu dengan pendapatan 2 dollar AS (per dolar adalah Rp11.500,-) atau sekitar Rp23.000,- per hari, jumlah penduduk miskin di negeri ini pada tahun 2008 masih cukup besar, sekitar 34,96 juta jiwa atau 15,4 persen.[6] Itu pun kalau dihitung dengan rata-rata, karena memang tidak semua rakyat Indonesia berpenghasilan Rp23.000,- per hari atau Rp 690,000,- per bulan.

Selain itu pengangguran, menurut survei Badan Pusat Statistik angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja.[7] Tentu saja masalah hidup semakin bertambah dengan terus meningkatnya biaya hidup sehari-hari akibat ketidakpastian kondisi makroekonomi.

Dengan dua masalah "kembar" yang telah disebutkan sebelumnya, sudah dapat dipasti akan mengurangi kepercayaan rakyat dan juga dunia internasional kepada kepemimpinan pemerintah bahkan kepada institusi negera sendiri. Fenomena ini ditegaskan dengan terus meningkatnya jumlah Golput (golongan putih) pada Pilkada di berbagai daerah. Misalnya, Golput pada Pilkada di Kalsel sebesar 40 persen, di Sumbar 37 persen, di Jambi 34 persen, di Kepulauan Riau 46 persen, di Banten 40 persen, di Jawa Barat 33 persen, di DKI Jakarta 35 persen, di Jawa Tengah 44 persen, dan di Sumatera Utara 43 persen. Terakhir di Jawa Timur secara keseluruhan 39,2 persen.[8] Hal ini diperkuat dengan hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI), angka Golput malah jauh lebih besar, yakni mecapai 65 persen.

Begitu pun di tingkat internasional, saat ini Indonesia tidak berwibawa lagi di dunia internasional. Logikanya, sederhana saja, bagaimana mungkin bisa berpengaruh di dunia internasional, kalau kondisi nasionalnya saja berantakan. Sebagai contoh, keangkuhan Malaysia tampak menyebut TKI/TKW kita sebagai Indon dengan konotasi yang sinis. Yang lebih menyakitkan lagi adalah bagaimana para TKI illegal setelah ditangkap, dicambuki dulu seperti binatang, sebelum dideportasi kembali ke Indonesia. Asal muasal rentetan kejadian itu begitu jelas, yakni karena Indonesia lemah di mata Malaysia.[9]

Mungkin rakyat dan siapa pun di negeri ini bertanya, kapankah amanat pendiri bangsa yang tercantum dalam pembukaan undang-undang 1945 itu bisa dinikmati oleh semua?

Definisi Kepemimpinan Transformatif

Setelah mengkaji potensi dan permasalahan di negeri ini, pembahasan mengenai kepemimpinan menarik untuk ditelisik lebih dalam. Tidak bisa dipungkiri memang bangsa ini sedang memerlukan pemimpin yang memiliki visi perubahan. Perubahan yang bukan hanya slogan, tetapi perubahan itu akan menciptakan kemandirian bangsa dengan tidak memiliki mentalitas inlander [10] (meminjam istilah Amien Rais).

Berbicara tentang arti kepemimpinan sendiri, Kreitner dan Kinicki memaknai sebagai suatu proses pengaruh sosial yang di dalamnya pemimpin mengusahakan partisipasi sukarela dari para bawahan dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan organisasi.[11] Menurut definisi tersebut, kepemimpinan merupakan suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok, untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang, untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Hal ini seirama dengan Maxwell yang memberi penegasan bahwa "kepemimpinan adalah pengaruh."[12]

Persoalannya kemudian, gaya kepemimpinan apa yang diperlukan oleh Indonesia saat ini? Mungkin gaya transformatif akan membawa sebuah perubahan untuk negeri kita. Dalam Good To Great, Collins (2004) memberikan sinyal mengenai bagaimana melakukan transformasi organisasi menjadi organisasi yang hebat. Collins berpendapat, salah satu elemen transformasi tersebut adalah terdapatnya Kepemimpinan Tingkat 5. Menurutnya, kepemimpinan ini, membangun kehebatan yang bertahan lama melalui bauran paradoks dari kerendahan hati pribadi dan kemauan professional.[13]

Demikian pula Maxwell menjelaskan terdapat lima tingkat kepemimpinan yaitu: (1) kedudukan, (2) izin, (3) produksi, (4) pengembangan manusia, dan (5) kemampuan menguasai pribadi. Pada tingkatan kemampuan menguasai pribadi seorang pemimpin memiliki karisma untuk dihormati. Dia dikagumi dan diikuti bukan karena posisinya, melainkan karena pembawaan dirinya.[14]

Burns (1978) menggunakan istilah gaya kepemimpinan ini sebagai kepemimpinan transformatif. Memang pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan transformatif telah banyak terlahir dalam sejarah. Namun gaya kepemimpinan tersebut relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan modern.[15] Sebagai contoh, Abraham Lincoln (1809-1865) yang berjuang menyatukan Amerika Serikat saat perang saudara (1861-1865) merupakan salah satu presiden AS yang memiliki gaya kepemimpinan transformatif, demikian juga Mahatma Gandhi (1866-1948) yang memimpin perjuangan kemerdekaan India dari penjajahan Inggris melalui kampanye pertahanan pasif dan tidak bekerjasama dengan Inggris, dia pun memiliki gaya kepemimpinan ini. [16]

Menurut Burns, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kepemimpinan transformatif, gaya ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.

Dalam hal ini kepemimpinan transaksional sendiri biasanya didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang harus dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Di samping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggung jawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) kepada bawahannya.[17]

Sebaliknya, kepemimpinan transformatif pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggung jawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformatif harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.[18]

Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformatif sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomena-fenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya.

Pemimpin Transformatif yang Ideologis

Bagaimana kepemimpinan transformatif terlahir? Maxwell menjelaskan bahwa kesuksesan pemimpin bukan dibuat dalam sehari, sebulan atau seketika. Tetapi kesuksesan itu dibangun dengan proses belajar yang berkelanjutan, sebagai hasil dari disiplin diri serta ketekunan.[19]

Sejarah dunia selalu mengenang perhelatan pemimpin tipe ini. Tak dapat dipungkiri, tentu ada pro dan kontra akibat gaya kepemimpinannya tersebut. Akan tetapi perlu untuk dicatat tentang proses transformasi yang dilakukannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat demi kehormatan negeri, walaupun proses itu akan berlawanan dengan arus politik global.

Di abad 21 ini, mungkin para pemimpin Amerika Latin saat ini, kecuali beberapa negara saja, sudah memiliki corak kepemimpinan transformatif. Hugo Chaves (Venezuela), Evo Morales (Bolivia), Rafael Carrera (Ecuador), Tabare Vasquez (Uruguay), Lula da Silva (Brazil), Michelle Bachelet (Chili), dan Nestor serta Christina Kirchner (Argentina), mungkin juga Daniel Ortega (Nicaragua).[20]

Siapa yang menyangka, Amerika Latin sebelumnya bak kumpulan ayam kelaparan di lumbung padi mampu memanfaatkan sumber daya migasnya untuk bangkit ketika kita (mantan) Macan Asia, masih dalam kemelut. Tentu hal ini tidak bisa lepas dari peran para pemimpin mereka, yang memiliki ketegasan visi dalam membangun negerinya.

Oleh karena itu dapat dipahami jika para pemimpin negara-negara Amerika Latin begitu berani menasionalisasi pengelolaan ladang-ladang migas yang semula dikuasai oleh korporasi multinasional. Bolivia misalnya, di bawah kendali Evo Morales, dia menasionalisasi Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB) menjadi badan usaha milik negara. Dengan aksi ini, Morales bisa leluasa memanfaatkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekstraktif sumber daya migas untuk mensejahterakan rakyatnya.[21]

Langkah Morales diikuti oleh Hugo Chaves, Presiden Venezuela, untuk menasionalisasi Pertoleos de Venezuela S.A. (PDVSA). Awalnya ladang-ladang minyak Venezuela dikelola oleh asing akan tetapi walaupun kekayaan minyaknya terbesar ke-5 di dunia, rakyatnya tetap dalam kemiskinan. Setelah Chaves menasionalisasi PDVSA, pada tahun 2005, Venezuela bisa memasok migas ke China National Petroleum Corp. (CNPC).[22]

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Morales dan Chaves bukan tanpa resiko. Keberanian melucuti para korporat raksasa dunia dicap sebagai ekspresi dari kepemimpinan mereka yang berpegang pada ideologi kiri (Sosialisme atau Komunisme).

Pemimpin yang lainnya adalah Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran sekarang ini adalah tokoh yang sangat menonjol. Dengan kepemimpinannya, ia mengidentifikasikan dirinya sebagai pejuang hak-hak orang kecil dan lemah. Namun, di sisi lain Ahmadinejad juga cerdas dan berani menentang politik ganda AS, yang selalu menekan Iran untuk menghentikan teknologi nuklirnya.[23]

Begitulah kepemmimpinan transformatif memiliki ketegasan visi sebagai prinsip hidup secara pribadinya dan sekaligus bernegara. Atau dapat dikatakan, mereka memimpin dengan ideologi yang jelas. Dengan ideologi inilah kepemimpinan menjadi cerdas, dinamis, maju dan berani. Bagaimana dengan pemimpin Indonesia?

Walaupun perubahan bukan hanya bertumpu pada pemimpin, tetapi juga ditopang oleh perubahan sistem. Namun, pemimpin yang memiliki ketegasan dan kejelasan prinsip merupakan trigger perubahan itu. Jika tidak demikian maka jangan bermimpi kita akan memperoleh milyaran dolar dari hasil hutan, tambang migas dan mineral, dan sumber daya alam lainnya untuk mensejahterakan rakyat.



[1] http://www.kapanlagi.com/h/0000067083.html.

[2] Disimpulkan dari berbagai sumber

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia

[5] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=192208

[6] http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3234&Itemid=29.

[8] Kurnia, MR, 2008, Merebut Masa Mengambang, Jurnal Al-Wa'ie Edisi 97 tahun IX, September 2008, Bogor.

[9] Rais, M. Amien, 2008, Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia, PPSK Press, Yogyakarta.

[10] Sikap dengan mentalitas seperti bangsa terjajah kepada penjajah.

[11] Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo, 2008, Organization Behavior 7th ­­, McGraw-Hill Companies. New York.

[12] Maxwell, John C., 2004, Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda, Interaksara, Batam.

[13] Collins, Jim, 2004, Good To Great (Baik Menjadi Hebat), KARISMA Publishing, Batam.

[14] Maxwell, John C, 2004, ibid

[15] Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.

[16]Mohandas Gandhi. Microsoft Encarta, dan Abraham Lincoln. Microsoft Encarta 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.

[17] Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo,2007,ibid,

[18] Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.

[19]Maxwell, John C, 2001, The 21 Irrefutable Law of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan Sejati), Interaksara, Batam. (diterjemahkan oleh Arvin Saputra).

[20]Rais, M. Amien, 2008, Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia, PPSK Press, Yogyakarta.

[21] Begini Para Kampiun Amerika Latin Mengelola Minyaknya, Sajian Utama, Majalah SWA sembada edisi 13/XXIV/26 Juni-6 Juli 2008.

[22] Ibid.

[23] Rais, M. Amien,2008, ibid